Aku Benci dan Ini yang Terakhir
Aku benci, saat aku harus rindu sendiri. Benar-benar gila. Ku pikir tanpamu aku bisa melewati ini semua. Bisa memang tapi aku masih tertatih. Tertatih untuk kembali padamu atau harus menyusuri jalan sepi dengan seorang diri. Sebenarnya tidak sepi, aku saja yang selalu merasa itu seperti kota mati. Lalu, ku putuskan untuk tertatih kembali padamu. Berharap bisa mengulang dari awal, tetapi yang ku dapat hanyalah sebuah kisah yang semakin menyayat hatiku.
Aku benci, saat aku menyadari bahwa kita bukan lagi sepasang insan yang saling mencari. Namun, kita adalah sebuah nada yang tidak pernah menemukan notnya. Bersuara namun tidak bermakna. Ah, mengapa ada pertemuan bila ada perpisahan?
Aku benci, saat aku masih sibuk mengawasi dirimu yang bahkan dirimu tak ingin lagi mengenal diriku. Aku bertanya pada diri sendiri, mengapa aku masih sibuk mencintai segala kehampaan? Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otak ini dan apa yang membuat semua kenangan ini seperti berputar-putar saja di pikiranku. Aku sepertinya menutup semua fakta yang ada di depan mata. Fakta yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa bersama.
Aku benci, saat aku harus teringat semua hal yang melibatkan dirimu. Hujan, senja, dan kamar tidurku. Mereka semua ikut terlibat saat cerita kita sedang dituliskan. Kenapa aku sebut kamar tidurku? Karena aku masih ingat ketika kita tertidur (di tempat masing-masing tentunya) namun ponsel kita saling terhubung. Aku masih ingat ketika kau berdengkur saat sedang tertidur. Aku juga senang saat mendengar napasmu ketika tidur. Semua indah sampai aku menyadari bahwa ponselku langsung bocor baterainya karena harus telfonan denganmu dari waktu tidur hingga subuh. Aku mau seperti dulu, tapi sudah tidak bisa.
Aku juga benci, saat kau membawa-bawa latar belakang kita dalam hubungan ini. Itu bukan sebuah alasan untuk membuatku tidak mencintai dirimu. Aku juga tidak acuh pada hal tersebut, tapi kau yang selalu sebut-sebut. Sampai pada akhirnya, kita berpisah dengan alasan itu. Bodoh! Orangtuaku tak pernah membawa-bawa status sosialmu pada kesempatan apapun. Kau sendiri yang mengungkit itu. Aku tidak pernah memandang rendah seseorang apalagi orang yang aku cinta.
Aku benci, harus menulis ini. Karena semua hal tentang dirimu terasa semakin kelam dan tidak menentu. Aku juga tidak mengerti. Mungkin karena sikapmu yang begitu tak acuh padaku sehingga aku malas bertegur sapa dengan masa lalu. Ku jelaskan padamu, aku bukanlah perempuan yang mudah berpindah hati. Walau banyak raga lain yang mencintai, aku pasti masih akan mencintai ragamu. (yang kata hatiku) Tempat bersandar paling nyaman di dunia ini. Sudahlah, aku sudah malas membahas ini semua. Ku rasa dari sekian banyak lelaki yang pernah aku temui, kaulah yang sulit aku hapuskan dari memori ini. Mungkin karena kita pernah saling memiliki. Oleh karena itu, aku akhiri semua drama ini.
(Sunter, 28 Maret 2017)
Komentar
Posting Komentar