Apa salahku, Ma?
“Ngapain sih, kamu pakai hijab? Emangnya kamu sudah siap?”
Kalimat itu aku dengar dari mulut ibuku sendiri saat aku pertama kali mengenakan hijab. Beliau tidak menyukai diriku menutup rambut indahku dengan kain untuk berhijab. Selalu saja aku dicemoohnya bila aku menggunakan hijabku untuk menutupi auratku. Katanya, “Rambutmu indah, untuk apa kau tutupi?” Indahnya rambutku membuat diriku ingin melindunginya, Ma. Ku hiraukan perkataannya dan tetap menggunakan hijabku.
***
“Kamu cantik sekali menggunakan hijabmu!” Lolita menyapaku saat aku pertama kali mengenakan hijabku.
“Begitu dong, kan lebih cantik bila ditutup rambutnya!” Katanya dengan senyum terhangat.
Semua teman-temanku sangat senang saat mengetahui diriku mengenakan hijab saat pertama kali. Mereka semua berkata bahwa aku lebih cantik saat mengenakan penutup untuk rambut indahku. Pacarku, ya, pacarku juga senang mengetahui diriku mengenakan hijab. Aku senang. Ternyata, niat baikku yang telah terwujud banyak yang mendukungku, kecuali keluargaku. Ya, keluargaku.
Mereka banyak yang meragukanku saat aku menyatakan pada mereka aku akan mengenakan hijab untuk kegiatan sehari-hari, terutama ibuku. Beliau menganggap diriku tidak akan tahan lama mengenakan hijab. Ibuku tidak memberikan alasan yang logis untuk aku dapat menerima perintahnya. Menurutnya, perempuan seusiaku lebih baik untuk tidak mengenakan hijab. Perempuan lebih baik mengenakan hijab saat telah memiliki suami. Jahat memang, tapi beliau adalah ibuku. Aku tidak bisa membantahnya.
***
“Ira, untuk apa sih, kamu mengenakan hijab? Lagipula mama tidak memaksa kita mengenakan hijab untuk saat ini.” Kakakku yang berbeda usia 5 tahun dariku mengomentari keputusanku ini. Menurutnya, aku terlihat seperti ibu-ibu pengajian saat aku mengenakan hijab. Cukup jahat memang ketika kakakku melontarkan kalimat itu untukku.
Saat ku diskusikan tentang semua kegelisahan ini pada ayahku, beliau hanya bisa berkata, “Sudahlah, Ra ikuti saja mau ibumu. Ia memang seperti itu wataknya.” Sungguh sedih ketika ada niat untuk memperbaiki diri tapi tak ada yang mendukungnya, terutama keluargaku sendiri. Kuceritakan semuanya pada kekasihku tentang apa yang menjadi kegelisahanku. Ia juga tidak memiliki kuasa untuk membantu ini semua. Tak ada yang mendukungku di sini.
***
“Iraaaaaaaaa!!”
“Apa, mah?”
“Mama sudah bilang tidak usah mengenakan hijab untuk saat ini. Rambutmu indah, kenapa harus kau tutupi itu? Biarkan semua orang tahu, Ra!”
“Tapi, Mah, aku ingin menjadi orang yang lebih baik mulai dari hal kecil.”
“Menjadi orang baik tak harus mengenakan hijab. Toh saat ini banyak orang yang mengenakan hijab dan berakhlak buruk. Lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri!”
“Aku hanya ingin mengikuti panggilan Tuhan, mah. Mama harus tahu itu.”
“Tahu apa kau soal agama? Lepaskan atau tak akan ku maafkan dirimu!”
“Prang!!”
Jatuhnya piring di ruang keluarga menjadi penutup pertengkaran yang terjadi antara aku dan ibuku. Beliau melemparkan piring ke lantai untuk memarahi diriku dan mengikuti dirinya. Namun, aku anak yang terlalu keras kepala untuk menuruti keinginannya. Lebih baik aku pergi saja untuk menenangkan diri. Toh, diriku telah memiliki penghasilan sendiri.
***
Entah apa yang ada dalam pikiran Ibuku. Saat diluaran sana banyak orang tua yang menyuruh anaknya untuk menutup auratnya dari pandangan laki-laki jahat namun ibuku lain. Ia malah ingin anaknya menjadi pusat perhatian para lelaki macam itu. Aku bingung harus berbuat apa. Aku ingin menjalankan syariat agamaku tapi ibuku melarang. Bila aku mengikuti ibuku, aku tidak akan pernah menjalankan syariat agamaku dan bila aku tetap menggunakan hijab sebagai penutup auratku malah nanti aku yang durhaka terhadap ibuku. Tuhan, apa kau dengar kegundahan hatiku? Aku harus berbuat apa untuk melewati ini semua?
SELESAI
Hai, ini juga salah satu cerpen gue yang pendek untuk mata kuliah semester lalu Penulisan Kreatif. Ini adalah adaptasi dari kisah nyata. Memang, ternyata ada orang tua yang melarang anaknya untuk mengenakan kerudung lantaran masih ingin lihat rambut anaknya terurai bak model shampo. Gue juga gak habis pikir sih sama orang tua yang kayak gitu. Tapi bukan intervensi melaikan ini cuma kesedihan gue mendengar cerita aslinya. Makanya, gue nulis cerita ini ke dalam sebuah cerpen yang pendek. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar